Oleh
: Yusuf Amri
Penduduk
merupakan objek kajian bidang ilmu demografi yang kondisinya selalu dinamis
atau berubah dari waktu ke waktu. Penduduk (population)
yang selalu berubah menjadikannya sebagai objek kajian yang sangat menarik.
Perubahan kondisi penduduk disuatu wilayah baik secara kualitas maupun
kuantitas akan terus terjadi sebab penduduk bergerak dan berpindah baik secara
vertikal maupun horizontal. Perpindahan penduduk secara vertikal dan horisontal ini masuk dalam teori migrasi (migration). Perpindahan penduduk
vertikal berhubungan dengan perubahan status sosial seorang individu, sedangkan
perpindahan penduduk horisontal berhubungan dengan perpindahan penduduk secara
keruangan (spacial). Penduduk dalam
kacamata ilmu demografi dikaji dalam tiga aspek utama yaitu kelahiran (fertility), kematian (mortality), migrasi (migration).
Indonesia
merupakan salah satu negara dengan penduduk terbesar didunia. Hasil sensus
penduduk tahun 2010 jumlah total penduduk di Indonesia tercatat sebanyak 237
juta jiwa (BPS,2013). Jumlah penduduk yang sangat banyak tentu membawa
keuntungan tersendiri bagi Indonesia yaitu memiliki sumberdaya manusia yang
melimpah secara kuantitas. Akan tetapi kondisi ini belum diikuti dengan
kualitas sumberdaya manusia yang baik. Salah satu parameter untuk
melihat keberhasilan pembangunan suatu negara dapat dilihat dari Indeks
Pembangunan Manusia (IPM). Indeks
Pembangunan Manusia Indonesia tahun 2013 sebesar 73,81
dan angka ini merupakan yang paling tinggi sejak tahun 1996 (Gambar 1). Berdasarkan data World Bank tahun 2014 IPM Indonesia sebesar 0.684 dan berada diperingkat 110 dari 188 negara
diseluruh dunia. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia masih dibawah Malaysia
(peringkat 62), Singapura
(peringkat 11), Thailand
(peringkat 93), dan China
(peringkat 90).
Gambar 1. Indeks Pembangunan Manusia
Indonesia Tahun 1996-2013
(Sumber: Badan Pusat Statistik)
Jumlah
penduduk yang besar tanpa diikuti dengan kualitas rata-rata yang baik maka
dapat menimbulkan banyak permasalahan. Salah satu permasalahan kependudukan
terbesar yang dihadapi Indonesia saat ini adalah tingginya angka Pengangguran
Terbuka. Pengangguran Terbuka adalah angkatan kerja yang sedang mencari pekerjaan. Angkatan
Kerja diartikan sebagai jumlah penduduk usia kerja (15 tahun keatas) yang
sedang bekerja atau sedang mencari pekerjaan (Mantra, 2003). Jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mengalami
penurunan sejak 2005 sampai 2013. Tahun 2005 jumlah Pengangguran Terbuka di
Indonesia sebesar 10.854.254 jiwa dan tahun 2013 turun menjadi 7.170.523 jiwa. Penurunan
jumlah pengangguran terbuka periode 2005-2013 mencapai 3.683.731 jiwa. Data
publikasi pengangguran terbuka dari Badan Pusat Statistik sebenarnya tersaji
dalam dua waktu untuk setiap tahun, yaitu bulan februari dan bulan agustus.
Alasan diambil data pada bulan februari karena pada bulan februari data tersaji
lebih lengkap dibandingkan bulan agustus. Jadi data yang tersaji diatas bukan
data diakhir tahun. Selain itu data yang tersaji merupakan jumlah total
nasional dan belum terinci menurut wilayah provinsi. Oleh karena itu, data ini tidak
dapat menggambarkan wilayah mana yang memiliki pengangguran tinggi dan rendah. Berikut
adalah tren jumlah Pengangguran Terbuka di Indonesia menurut Badan Pusat
Statistik:
Gambar 2. Tren Perubahan Jumlah Pengangguran Terbuka (Februari)
Di Indonesia Tahun
2005-2013
(Sumber: Badan Pusat Statistik, *data pengangguran
terbuka bulan februari)
Gambar 3. Pengangguran
Terbuka Menurut Pendidikan Terakhir Yang
Ditamatkan
di Indonesia Tahun 2005-2013
(Sumber: Badan Pusat Statistik)
Berdasarkan gambar 3 dapat dilihat bahwa jumlah Pengangguran Terbuka di
Indonesia tahun 2005 didominasi oleh penduduk yang tamat SMP sebesar 2.680.810
jiwa dan tamat SMA sebesar 2.680.752 jiwa. Sementara itu jumlah Pangangguran
Terbuka dari kalangan penduduk yang tidak pernah sekolah sebesar 342.656 jiwa,
tidak tamat SD sebesar 670.055 jiwa, tamat SD sebesar 2.540.977 jiwa, tamat SMA
umum sebesar 2.680.752 jiwa, tamat SMK kejuruan sebesar 1.230.750 jiwa, tamat
Diploma sebesar 322.836 jiwa, dan dari kalangan penduduk yang tamat universitas
/ perguruan tinggi mencapai 385.418 jiwa. Jumlah ini mengalami penurunan pada
tahun 2013. Pengangguran Terbuka yang tidak sekolah sebesar 109.865 jiwa, tidak
tamat SD sebesar 513.534 jiwa, tamat SD
sebesar 1.421.653 jiwa, tamat
SMP sebesar 1.822.395 jiwa, tamat
SMA umum sebesar 1.841.545 jiwa, tamat
SMK kejuruan sebesar 847.052 jiwa, tamat
Diploma sebesar 192.762 jiwa, dan
tamat universitas sebesar 421.717 jiwa.
Menurut uraian data diatas diketahui bahwa ternyata
banyak penduduk yang tamat universitas menjadi pengangguran. Jumlahnya lebih
besar dibandingkan dengan pengangguran dari kalangan penduduk yang tidak
sekolah. Tentu ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap kondisi
ketenagakerjaan sehingga banyak tamatan universitas dan diploma yang
mengganggur. Meski demikian tren pengangguran terbuka di Indonesia mengalami
penurunan yang cukup besar. Padahal jumlah penduduk usia kerja dan jumlah
angkatan kerja terus bertambah setiap tahun seiring dengan peningkatan jumlah
penduduk. Ida Bagoes Mantra dalam Demografi
Umum (2003) menjelaskan bahwa pengangguran menurut sebabnya dibedakan menjadi tiga:
a. Pengangguran
Friksional
Pengangguran
Friksional muncul karena ada kesulitan secara temporer yang mempertemukan
antara pencari kerja dengan lowongan kerja.
b. Pengangguran
Struktural
Pengangguran
Struktural muncul karena struktur ekonomi berubah.
c. Pengangguran
Musiman
Pengangguran
Musiman terjadi sebab perubahan musim.
Gambar 4. Pencari Kerja
(Sumber: Nasional.republika.ac.id)
Jumlah pengangguran yang cukup
tinggi di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang dianggap paling dominan
adalah ketidakseimbangan antara jumlah angkatan kerja dengan kesempatan kerja
yang tersedia. Kesempatan kerja di Indonesia dianggap belum cukup untuk
menyerap angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja di Indonesia tahun 2005 sebanyak
105,80 juta jiwa dan tahun 2013 sebanyak 121,19 juta jiwa. Sementara itu jumlah
penduduk yang bekerja sebanyak 94,95 juta jiwa pada tahun 2005 dan meningkat
menjadi 114,02 juta jiwa pada tahun 2013 (Gambar 5). Ada satu parameter lain yang digunakan untuk melihat
gambaran apakah penduduk usia kerja di suatu wilayah lebih banyak masuk
kategori angkatan kerja atau justru bukan angkatan kerja. Parameter tersebut
adalah Tingkat partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Dengan kata lain Tingkat
Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) menggambarkan persentase angkatan kerja
terhadap penduduk usia kerja (Mantra, 2003).
Persentase Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di Indonesia pada
rentang waktu 2005-2013 tidak berbeda jauh. TPAK tahun 2005 sebesar 68,02% dan
tahun 2013 sebesar 69,21% (Badan Pusat Statistik). Angka tersebut dapat
diartikan bahwa secara umum jumlah penduduk usia kerja di Indonesia lebih
banyak masuk kategori angkatan kerja. Jika dibedakan berdasarkan jenis kelamin
(laki-laki dan perempuan) maka di Indonesia ada kecederungan bahwa Tingkat
Partisipasi Angkatan Kerja laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Hal ini
disebabkan karena faktor budaya. Laki-laki wajib bekerja untuk mencari penghasilan,
sedangkan perempuan tidak wajib bekerja. Perempuan yang berstatus ibu rumah
tangga masuk dalam kategori bukan angkatan kerja walau usia diatas 15 tahun
(usia kerja).
Gambar 5. Jumlah Angkatan Kerja dan Bekerja di Indonesia Tahun 2005-2013
(Sumber: Badan Pusat Statistik)
Faktor
lain yang menyebabkan terjadinya pengangguran adalah keterbatasan pendidikan
dan keterampilan para pencari kerja, kurangnya informasi tentang lowongan
kerja, ada ketidaksesuaian antara pendidikan dan keterampilan pencari kerja
dengan lowongan kerja yang dibutuhkan, pertumbuhan kesempatan kerja tidak
sebanding dengan jumlah pencari kerja, lapangan kerja tidak merata disetiap
wilayah, kebijakan pemerintah tentang ketenagakerjaan kurang efektif dan efisien,
pemerintah kurang optimal dalam meningkatkan kemampuan dan keterampilan pencari
kerja (Sukidjo, 2005).
Pengangguran dalam jumlah besar menyebabkan masalah lain
yang lebih kompleks. Contohnya penurunan pendapatan rumah tangga, peningkatan
angka beban ketergantungan, memicu peningkatan jumlah kemiskinan, memicu
peningkatan jumlah kriminalitas terutama di perkotaan, menghambat pertumbuhan
ekonomi, menghambat pembangunan secara nasional, dan lain-lain. Mengingat
begitu banyak permasalahan lain yang dapat timbul akibat tingginya jumlah
pengangguran maka perlu dilakukan berbagai upaya untuk menekan angka penganngguran.
Tentu bukan hal mudah untuk mengurangi angka pengangguran di Indonesia. Mantra
(2003) menjelaskan lebih jauh tentang kondisi pengangguran di Indonesia. Jumlah
Pengangguran Terbuka jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Setengah
Pengangguran. Mengapa demikian? Karena konsep Pengangguran Terbuka lebih
mengarah kepada penduduk yang mencari kerja. Sementara banyak penduduk yang
sudah bekerja namun kurang dari 35 jam per minggu (jam kerja normal). Inilah
yang disebut sebagai Setengah Pengangguran.
Gambar
6. Ilustrasi pengangguran
(Sumber: republika.ac.id)
Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan
untuk menekan jumlah pengangguran. Pertama, pemerintah perlu membuka dan
menyediakan lapangan pekerjaan baru seluas-luasnya. Lapangan kerja baru dapat diciptakan
melalui bidang kewirausahaan. Penduduk yang menganggur dapat didorong untuk
berwirausaha. Wirausaha bukan hanya untuk membuka lapangan kerja baru namun
juga mendidik kemandirian masyarakat dalam bekerja. Wirausaha sekaligus untuk
mendorong masyarakat ikut aktif membuka lapangan kerja baru. Selain melalui wirausaha, pemerintah dapat
membuka lapangan kerja baru dengan memaksimalkan potensi industri lokal baik besar maupun kecil. Sektor industri masih menjadi
salah satu sektor yang memberi kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi
nasional.
Semakin banyak jumlah penduduk maka semakin kompleks
permasalahan kependudukan yang akan timbul. Pembangunan nasional sudah
semestinya berbasis kependudukan. Negara Indonesia memiliki semua syarat untuk
maju. Potensi sumberdaya alam yang sangat melimpah, iklim yang relatif
kondusif, dan jumlah penduduk yang sangat banyak sebagai human capital. Pertanyaannya adalah bagaimana kemudian segala
potensi ini akan dikelola demi kemajuan bangsa. Pada akhirnya jangan sampai
pengangguran menjadi pengahambat pembangunan nasional.
Referensi:
Badan Pusat Statistik Indonesia. www.bps.go.id. Diakses pada hari Selasa, 12 April 2016 pukul 13.20 WIB.
Mantra, Ida Bagoes. 2003. Demografi
Umum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sukidjo. 2005. Peran
Kewirausahaan Dalam Mengatasi Pengangguran di Indonesia. Jurnal Ekonomia, Vol. 1. No.1. Agustus 2005. Halaman: 17-28.
World Bank : Human
Development Index
Yusuf Amri,
Yogyakarta, 30 April 2016
Yogyakarta, 30 April 2016
Artikel ini ditulis dalam rangka
Program Motivator Muda Kependudukan
BKKBN Pusat 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar