Oleh
: Yusuf Amri
Penduduk merupakan kumpulan manusia yang mengalami
berbagai dinamika dalam kehidupannya. Dalam ilmu demografi ada tiga hal yang
mempengaruhi perubahan struktur dan komposisi penduduk disuatu wilayah,yaitu
kelahiran, kematian, dan migrasi. Migrasi merupakan peristiwa perpindahan
penduduk dari satu wilayah menuju wilayah lain dengan motif dan faktor tertentu.
Migrasi merupakan bentuk dari adanya pergerakan penduduk secara terus menerus
dari waktu ke waktu. Lee (1976) dalam Mantra (2003) menyatakan bahwa volume
migrasi di suatu wilayah berkembang sesuai keanekaragaman wilayah tersebut. Seiring
berjalannya waktu ruang lingkup kajian mobilitas penduduk turut berkembang.
Disiplin ilmu demografi memandang mobilitas penduduk
sebatas pada perpindahan ruang (spasial), fisik wilayah, dan geografis. Dalam ilmu
demografi biasa disebut sebagai migrasi horisontal. Berbeda dengan disiplin
ilmu sosiologi yang memandang mobilitas secara umum sebagai perubahan dalam
status sosial individu misal perubahan pekerjaan dari pedagang menjadi pegawai
negeri Dalam ilmu sosiologi biasa disebut sebagai migrasi vertikal (Aswantini,
2007). Tidak setiap mobilitas penduduk secara spasial dapat disebut sebagai
migrasi. Mobilitas penduduk dapat dianggap sebagai migrasi hanya jika dilakukan
secara permanen atau semi permanen dan melintasi wilayah administrasi yang
menyebabkan peruabhan tempat tinggal (Gould and Prothero, 1975 dalam Aswantini,
2007). Mobilitas
penduduk awalnya hanya terbatas pada perpindahan penduduk dari satu daerah ke
daerah lain. Saat ini kajian mobilitas penduduk sudah berkembang karena
munculnya berbagai kecenderungan baru didalam proses mobilisasi penduduk.
Sebagai contoh adalah adaptasi sosial penduduk didaerah baru setelah migrasi.
Bagaimanapun juga teori klasik tentang mobilitas penduduk telah menjadi dasar
bagi perkembangan kajian mobilitas itu sendiri sesuai dengan kondisi jaman.
Gambar 1. Pencari suaka
(Sumber : www.unhcr.org)
Kajian tentang migrasi tidak lepas dari perkembangan
teknologi dan transportasi. Semakin maju teknologi transportasi membuat
perbedaan yang sangat besar bagi kehidupan. Jarak yang sangat jauh dapat
ditempuh dalam waktu yang lebih cepat dengan menggunakan sarana transportasi
berteknologi mutakhir. Selain itu, migrasi tidak akan terjadi tanpa adanya faktor
penarik dan faktor pendorong. Faktor
penarik berada di daerah tujuan misalnya faktor ekonomi berupa potensi tambang logam atau minyak akan membuat penduduk dari
luar daerah merasa tertarik untuk datang melakukan eksploitasi. Faktor
pendorong merupakan faktor yang berada di daerah asal misalnya wabah penyakit
akan mendorong penduduk untuk pindah ke daerah lain. Hal menarik yang perlu
dicatat adalah setiap wilayah memiliki potensi sumberdaya alam sekaligus
potensi bencana alam yang berbeda-beda. Misal di daerah dataran rendah atau
yang biasa disebut dataran alluvial. Dataran alluvial memiliki potensi
sumberdaya air tanah sangat melimpah dan kesuburan tanah yang tinggi namun
sangat rawan dengan bencana banjir. Contoh lain adalah di kawasan pesisir yang
memiliki potensi perikanan dan tambang garam namun rawan abrasi pantai. Perbedaan
karakteristik dan kondisi lingkungan setiap wilayah mempengaruhi kondisi
kondisi penduduk di wilayah tersebut.
Jumlah
penduduk Indonesia menurut Sensus Penduduk tahun 2010 adalah 237.641.326 jiwa (Badan Pusat Statistik, 2013). Tersebar di 34 provinsi dengan
kecenderungan penduduk lebih banyak tinggal di Pulau Jawa. Semakin besar jumlah
penduduk suatu negara maka semakin besar pula tantangan yang dihadapi. Jumlah
penduduk yang bertambah dengan cepat akan menyulitkan pemerintah dalam menyusun
kebijakan kependudukan terutama dalam pemenuhan kebutuhan dasar. Semakin besar
jumlah penduduk maka semakin besar pula kebutuhan terhadap pangan, tempat
tinggal, rumah sakit, sekolah, tempat rekreasi, tempat ibadah, lapangan
pekerjaan, moda transportasi. Masalah akan mucul secara kompleks apabila
kebutuhan tersebut tidak terpenuhi secara baik. Tercatat tahun 2010 sebanyak
49,8% penduduk Indonesia tinggal di perkotaan dan 50,2% tinggal di pedesaan.
Diperkirakan tahun 2035 nanti jumlah penduduk Indonesia yang tinggal
diperkotaan akan mencapai 66,6%. Ada kecenderungan perpindahan penduduk dari
desa ke kota. Hal ini mengindikasikan bahwa ada pergeseran penduduk yang bekerja
disektor pertanian ke nonpertanian atau dari sektor tradisional menuju sektor
modern (Kasto, 2004 dalam Faturochman dkk. 2004). Pemerintah perlu melakukan
antisipasi lebih dini menghadapi pergerakan penduduk dari desa menuju kota.
Tanpa antisipasi secara tepat maka kawasan perkotaan akan terjadi kepadatan
penduduk yang tinggi sehingga kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan
perkotaan terdesak.
Gambar 2. Kemacetan lalu lintas di perkotaan
(Sumber: http://archive.kaskus.co.id/thread/6852986)
Migrasi
internal yang terjadi di Indonesia tentu membawa dampak baik langsung atau
tidak langsung. Ada banyak dampak yang ditimbulkan misalnya perubahan struktur
dan komposisi penduduk serta kondisi demografi di suatu wilayah karena
perubahan kuantitas penduduk. Suatu daerah yang banyak ditinggal keluar oleh
penduduknya maka jumlah penduduk disana akan berkurang. Hal ini akan membuat
berbagai parameter demografi turut berubah. Contoh parameter Sex Ratio atau
rasio perbandingan jenis kelamin laki-laki dan perempuan (Mantra, 2003).
Apabila
di suatu daerah mayoritas penduduk laki-laki banyak yang berpindah ke daerah lain maka terjadi
perubahan perbandingan penduduk laki-laki dengan penduduk perempuan. Artinya
terjadi perubahan nilai Sex Ratio didaerah tersebut.
Contoh lain adalah perubahan Dependency Ratio. Dependency
ratio adalah rasio perbandingan antara jumlah penduduk usia produktif dengan jumlah
penduduk usia nonproduktif (Mantra, 2003). Apabila penduduk usia produktif di suatu wilayah pindah ke wilayah lain dan menetap disana
dengan asumsi penduduk lansia di wilayah asal tetap maka proporsi penduduk
lansia akan lebih banyak di wilayah asal. Akibatnya nilai Dependency Ratio di
wilayah tersebut menjadi tinggi. Secara umum perubahan kuantitas penduduk akan
mempengaruhi berbagai parameter demografi disuatu daerah.
Gambar 3. Kepadatan di Kota Meningkat
(Sumber: www.tribunnews.com)
Migrasi penduduk dapat membawa potensi konflik sosial
antara penduduk asli dengan pendatang. Konflik sosial merupakan fenomena yang
sudah pernah terjadi pada saat transmigrasi era pemerintah kolonial Belanda.
Konflik terjadi akibat ketidakmerataan dalam pembagian lahan dan pembagian
wilayah tinggal. Contoh kasus lain adalah konflik penduduk asli dan pendatang
di Delta Mahakam. Pemicu konflik adalah terkait dengan pemanfaatan lahan
disekitar delta untuk tambak ikan. Penduduk pendatang awalnya hanya menggunakan
teknologi sederhana dan modal uang sedikit untuk membuat tambak, namun ternyata
penduduk pendatang memiliki modal uang yang besar dan mampu membuat tambak yang
jauh lebih luas. Penduduk pendatang mampu menguasai lahan penduduk asli untuk
dibangun tambak ikan. Akhirnya timbul kecemburuan sosial diantara mereka yang
berakibat terjadinya konflik (Hidayati D,dkk,2005). Potensi konflik muncul
dengan adanya perbedaan suku dan sosial budaya (Keban,1966). Dalam hal
ini cara individu untuk berinteraksi antarsuku sangat menentukan.
Contoh lain kasus konflik sosial antaretnik pernah terjadi
di Lampung pada bulan Oktober 2012. Konflik terjadi antara etnik Bali dengan
etnik Lampung. Konflik ini terjadi karena beberapa faktor yaitu adanya dendam
masa lalu, dominasi penguasaan tanah berpindah dari etnik Lampung ke etnik Bali,
dan perbedaan sikap dan perilaku antara kedua etnik, serta tidak ada kemauan
untuk saling membaur (Ariestha,2013) konflik dapat diredakan oleh berbagai pihak
seperti pemerintah daerah, TNI, dan relawan melalui mediasi dan rehabilitasi
psikologis untuk menghilangkan trauma akibat konflik.
Gambar 4. Konflik sosial antara etnik Bali dengan etnik Lampung
di Lampung Selatan
Oktober 2012
Migrasi dapat mempengaruhi kondisi internal individu.
Dibutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Menurut
Saefullah dalam Tukiran (2002) ada kecenderungan perpindahan penduduk dari desa
ke kota. Hal ini akan menyebabkan interaksi saling mempengaruhi antara
kebudayaan penduduk kota dengan kebudayaan penduduk desa. Kebudayaan ini lebih
ditekankan pada kebiasaan, perilaku, dan gaya hidup. Pada akhirnya pengaruh
kebudayaan penduduk kota akan lebih kuat sebab interaksi terjadi di perkotaan sebagai bentuk dari proses sosial.
Penduduk dari desa akan terpaksa mengikuti gaya hidup dan kebudayaan penduduk
kota meskipun tidak keseluruhan. Hal serupa tidak hanya terjadi di Indonesia
tetapi juga di negara - negara berkembang lain seperti Malaysia, India, dan
Vietnam.
Sektor
ekonomi masyarakat dapat berubah dan mengalami pergeseran
akibat adanya migrasi. Daerah yang banyak ditinggal penduduknya maka perputaran
uang akan lebih lemah dan lebih kecil. Jumlah pertukaran barang dan jasa
menjadi berkurang. Akibatnya pendapatan rumah tangga berpotensi menurun. Namun
kondisi ini berbanding terbalik dengan daerah tujuan migrasi. Umumnya kota-kota
besar di Indonesia akan menjadi tujuan migrasi internal dari penduduk desa atau
disekitarnya. Jumlah tenaga kerja diperkotaan berlimpah dan tersedia dengan
berbagai macam bidang keahlian. Hal ini dapat menjadi modal penting dalam
proses pembangunan secara lokal. Menurut Kerr C et al (1954) bahwa
industrialisasi menyebabkan perubahan secara internal terhadap kondisi penduduk
dalam hal ini tenaga kerja dan mobilitas sosial dan geografis.
Mobilitas
penduduk internal di Indonesia terjadi tidak hanya sebatas perpindahan dari
pedesaan menuju perkotaan namun juga terjadi antarpulau. Salah satu penyebab
mobilitas penduduk adalah faktor ekonomi dan budaya. Dampak sosial secara umum
yang diakibatkan oleh perpindahan penduduk dalam negeri adalah perubahan kondisi
sosial individu dan akulturasi budaya, munculnya konflik sosial antargolongan,
dan perubahan kondisi demografi suatu wilayah baik dari segi struktur dan komposisi
penduduk maupun perubahan parameter demografi. Kajian tentang migrasi dan
mobilitas penduduk akan sangat bermanfaat bagi pemerintah dalam upaya membuat
arah kebijakan pembangunan. Daerah-daerah yang kaya akan potensi sumberdaya
alam dan manusia dapat diarahkan untuk memaksimalkan pembangunan nasional
secara menyeluruh.
Referensi:
Ariestha, B. (2013).
Akar Konflik Antaretnik di Lampung
Selatan. Skripsi.
Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Aswantini.(2007).
Mobilitas Internasional Penduduk Indonesia di Wilayah
Perbatasan Indonesia. dalam Noveria,M.,dkk. Dinamika Mobilitas Penduduk di Wilayah Perbatasan (hal:13-44). Jakarta
Selatan: LIPI Press.
Badan Pusat
Statistik. (2013). Proyeksi Penduduk Indonesia
2010-2035.
Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Gould and Prothero. (1975) dalam Aswantini (2007). Mobilitas Internasional
Penduduk Indonesia di Wilayah Perbatasan Indonesia. dalam Noveria,M.,dkk. Dinamika Mobilitas Penduduk di Wilayah
Perbatasan (hal:13-44). Jakarta Selatan: LIPI Press.
Hidayati D.dkk
(2005). Manajemen Konflik Stakeholder
Delta Mahakam.
Jakarta: Piramida Publishing.
Kasto (2004)
dalam Faturochman dkk. (2004). Dinamika Kependudukan
dan
Kebijakan: Pola
Mobilitas Penduduk Indonesia Tahun 1980-2000. Yogyakarta: PSKK UGM.
Keban, Yeremias T. (1966). Mobilitas
Penduduk dan Perubahan Sosial Budaya.
dalam Ananta,
Aris. Mobilitas Penduduk Indonesia.
Jakarta: UI-BKKBN.
Kerr C.et al.
(1954). Industrialization and Industrial
Man. New York: OU Publisher.
Lee, Everett.(1976) dalam Mantra, Ida Bagoes. (2003). Demografi Umum.
Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Saefullah, Djadja.H.A.(2002). Migrasi, Perubahan Sosial, dan Potensi
Konflik.
Dalam Tukiran dkk,. Mobilitas Penduduk Indonesia. Yogyakarta: Pusat Studi Kebijakan dan
Kependudukan UGM.
Yogyakarta, 21 Maret 2016
Artikel ini ditulis dalam rangka
Program Motivator Muda Kependudukan
BKKBN Pusat 2016